Selasa, 01 Oktober 2013

Bincang Sastra Bersama Triyanto Triwikromo, oleh Ngadiyo


Komunitas Pawon yang bergerak di dunia kesusastraan menghadirkan cerpenis kenamaan Triyanto Triwikromo, Minggu 8 September 2013 di Balai Soedjatmoko - Solo. Acara bincang sastra dimulai pukul 13.00 dipandu oleh Yudhi Herwibowo selaku koordinator acara membahas penerbitan karya di Workshop Menulis Remaja. Para peserta terdiri atas mahasiswa, pelajar dan umum. Hadir pula beberapa pengarang dan esais diantaranya Sanie B. Kuncoro, Bandung Mawardi, Indah Darmastuti dan lain-lain.
Triyanto Triwikromo dikenal luas sebagai penulis cerita pendek, penyair, dosen Penulisan Kreatif UNDIP Semarang dan Redaktur Pelaksana harian Suara Merdeka. Sejumlah cerita pendek dan kumpulan puisi telah diterbitkan antara lain: Rezim Seks, Ragaula, Sayang Anjing, Anak-Anak Mengasah Pisau, Malam Sepasang Lampion, Ular di Mangkuk Nabi (memperoleh Penghargaan Sastra 2009 dari Pusat Bahasa) dan buku kumpulan cerita pendek terbarunya Celeng Satu Celeng Semua diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2013).
Sebagai penulis produktif, Triyanto menuturkan pengalaman jejak bersastranya. Ia mulai menggeluti dunia sastra dengan menulis puisi, cerpen dan novel sebelum terjun di dunia jurnalistik. Novel pertamanya berjudul “Saya Butuh Tuhan” hilang naskahnya dan belum sempat terbit. Tetapi ia masih ingat isi ceritanya.
Sejak di bangku SMP Triyanto mulai  menulis puisi. Apa yang ia baca muncul dalam tulisannya. Tulisan pertamanya dimuat di Suara Karya yang dicuri dan dikirim oleh temannya. Triyanto waktu itu belum sadar bahwa tulisan bisa memeroleh uang. Ia menggemari karya-karya Iwan Simatupang sejak SMA. Dalam dunia kepenyairan Triyanto mengidolakan Sapardi Djoko Damono dan WS Rendra. 

Baginya, dengan rajin membaca akan memiliki banyak argumen dan sebagai ibadah. Ini upaya yang digunakan sebagai bekal dalam dunia teks. Dengan banyak membaca akan memiliki kutipan-kutipan yang berarti.
Triyanto hanya mengirim naskah-naskahnya ke media-media besar yang cakupannya nasional seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia dan Republika. Alasannya menulis di media besar adalah sedikit tapi bagus. Walaupun ia juga mengirimkan naskahnya ke majalah.
Salahsatu pertanyaan dari peserta workshop adalah bagaimana menembus media massa yang sering menjadi momok bagi para penulis awal. Triyanto yang pernah menjabat sebagai redaktur Suara Merdeka membeberkan rahasianya dalam memilih naskah yang akan dimuat. Setiap redaktur di dunia itu subyektif. Jadi, seorang redaktur hanya membuka pintu bagi penulis yang mengirim naskahnya, dan ia membacanya. Namun penulislah yang menjebol tulisannya sendiri. Kalau naskahnya bagus, tentu akan dipertimbangkan untuk dimuat.
Pertanyaan yang cukup menyentil dari peserta workshop lainnya adalah mengapa cerpen Kompas  menjadi tolok ukur estetika cerpen Indonesia. Triyanto tidak setuju dengan hal itu. Baginya setiap zaman memiliki ideologi bercerpen. Arah estetika cerpen Indonesia ditentukan oleh ceruk yang realisasi penentunya masa kini. Yang mengarahkan estetika sastra adalah para pengarang itu sendiri.
Triyanto menuturkan bahwa karya-karyanya ditulis dengan perspektif tradisi Jawa yaitu struktur wayang yang dimodernkan. Tugas pengarang adalah mendekonstruksi sesuatu yang sudah mainstraim. Dan jangan takut untuk mendekonstruksi teks-teks lain. Karena setiap teks memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Bagi Triyanto, pengarang yang baik adalah pengarang yang berburu data dan melakukan riset dalam proses kreatifitas mengarang.
Rio Johan, salah satu pegiat Pawon yang juga aktif menulis cerpen menanyakan tentang jumlah karakter cerpen Indonesia yang terlalu sedikit (9.000-10.000 bahkan ada yang 6.000 karakter) dibandingkan dengan media luar negeri seperti The New Yorker. Ia berharap media Indonesia bisa seperti media luar negeri. Triyanto memberi horizon betapa pers Indonesia sangat dibatasi. Jadi sebelum mengirimkan karya harus memahami media itu.
Acara bincang sastra di Workshop Menulis Remaja  selesai pukul 16.00. Yudhi Herwibowo mengumumkan puncak acara bersama Triyanto Triwikromo yaitu bincang kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua kepada para peserta dimulai pukul 19.30 di tempat yang sama.
Bandung Mawardi selaku moderator memberi pengantar apresiasi kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua yang berisi 10 cerpen Pilihan Kompas 2003-2013. Banyak pengarang dari berbagai komunitas sastra hadir dan juga sebagian masyarakat umum malam itu.
Beberapa tanggapan atau apresiasi kumpulan cerpen itu antara lain Gunawan Tri Atmojo yang mengemukakan karya-karya Triyanto Triwikromo  saat ia memulai membaca mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam cerita. Namun, ia menikmati bahasa yang digunakan sang cerpenis. Bahkan Gunawan seolah mengalami orgasme membaca karya-karya Triyanto yang menenggelamkan banyak perasaan.
Han Gagas memiliki pandangan yang sufistik dan realisme magis untuk karya-karya Triyanto. Yudhi Herwibowo  mengapresiasi bahwa cerita-cerita yang dibangun Triyanto dari awal sampai sekarang kepengarangannya bisa stabil kualitasnya.
Usai para apresiator memberikan tanggapan, giliran Triyanto mengemukakan banyak gagasan serta pengalamannya dalam bersastra. Menurutnya pengarang yang baik adalah bagaimana memanfaatkan bahan, melakukan riset, observasi dan mencari apa-apa disekitarnya yang kemudian digarap menjadi cerita menarik. Sebenarnya kita sudah dibekali bahan oleh alam dan mitos di sekitar kita untuk membuat cerita.
Dipenghujung acara ia menegaskan bahwa “Karya kita hari ini adalah karya yang baru yang harus kita tebus pada karya-karya berikutnya” 

***

Ngadiyo, bergiat di Pawon dan Bilik Literasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar