Komunitas
Pawon yang bergerak di dunia kesusastraan menghadirkan cerpenis kenamaan
Triyanto Triwikromo, Minggu 8 September 2013 di Balai Soedjatmoko - Solo. Acara
bincang sastra dimulai pukul 13.00 dipandu oleh Yudhi Herwibowo selaku
koordinator acara membahas penerbitan karya di Workshop Menulis Remaja. Para
peserta terdiri atas mahasiswa, pelajar dan umum. Hadir pula beberapa pengarang
dan esais diantaranya Sanie B. Kuncoro, Bandung Mawardi, Indah Darmastuti dan
lain-lain.
Triyanto
Triwikromo dikenal luas sebagai penulis cerita pendek, penyair, dosen Penulisan
Kreatif UNDIP Semarang dan Redaktur Pelaksana harian Suara Merdeka. Sejumlah
cerita pendek dan kumpulan puisi telah diterbitkan antara lain: Rezim Seks, Ragaula, Sayang Anjing,
Anak-Anak Mengasah Pisau, Malam Sepasang Lampion, Ular di Mangkuk Nabi (memperoleh
Penghargaan Sastra 2009 dari Pusat Bahasa) dan buku kumpulan cerita pendek
terbarunya Celeng Satu Celeng Semua
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2013).
Sebagai
penulis produktif, Triyanto menuturkan pengalaman jejak bersastranya. Ia mulai
menggeluti dunia sastra dengan menulis puisi, cerpen dan novel sebelum terjun
di dunia jurnalistik. Novel pertamanya berjudul “Saya Butuh Tuhan” hilang naskahnya dan belum sempat terbit. Tetapi
ia masih ingat isi ceritanya.
Sejak
di bangku SMP Triyanto mulai menulis
puisi. Apa yang ia baca muncul dalam tulisannya. Tulisan pertamanya dimuat di
Suara Karya yang dicuri dan dikirim oleh temannya. Triyanto waktu itu belum
sadar bahwa tulisan bisa memeroleh uang. Ia menggemari karya-karya Iwan
Simatupang sejak SMA. Dalam dunia kepenyairan Triyanto mengidolakan Sapardi
Djoko Damono dan WS Rendra.
Baginya, dengan rajin membaca akan memiliki banyak argumen dan sebagai ibadah. Ini upaya yang digunakan sebagai bekal dalam dunia teks. Dengan banyak membaca akan memiliki kutipan-kutipan yang berarti.
Triyanto
hanya mengirim naskah-naskahnya ke media-media besar yang cakupannya nasional
seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia dan Republika. Alasannya menulis di
media besar adalah sedikit tapi bagus. Walaupun ia juga mengirimkan naskahnya
ke majalah.
Salahsatu
pertanyaan dari peserta workshop adalah bagaimana menembus media massa yang
sering menjadi momok bagi para penulis awal. Triyanto yang pernah menjabat
sebagai redaktur Suara Merdeka membeberkan rahasianya dalam memilih naskah yang
akan dimuat. Setiap redaktur di dunia itu subyektif. Jadi, seorang redaktur
hanya membuka pintu bagi penulis yang mengirim naskahnya, dan ia membacanya.
Namun penulislah yang menjebol tulisannya sendiri. Kalau naskahnya bagus, tentu
akan dipertimbangkan untuk dimuat.
Pertanyaan
yang cukup menyentil dari peserta workshop lainnya adalah mengapa cerpen
Kompas menjadi tolok ukur estetika
cerpen Indonesia. Triyanto tidak setuju dengan hal itu. Baginya setiap zaman
memiliki ideologi bercerpen. Arah estetika cerpen Indonesia ditentukan oleh
ceruk yang realisasi penentunya masa kini. Yang mengarahkan estetika sastra
adalah para pengarang itu sendiri.
Triyanto
menuturkan bahwa karya-karyanya ditulis dengan perspektif tradisi Jawa yaitu
struktur wayang yang dimodernkan. Tugas pengarang adalah mendekonstruksi
sesuatu yang sudah mainstraim. Dan
jangan takut untuk mendekonstruksi teks-teks lain. Karena setiap teks memiliki
takdirnya sendiri-sendiri. Bagi Triyanto, pengarang yang baik adalah pengarang
yang berburu data dan melakukan riset dalam proses kreatifitas mengarang.
Rio
Johan, salah
satu
pegiat Pawon yang juga aktif menulis cerpen menanyakan tentang jumlah karakter
cerpen Indonesia yang terlalu sedikit (9.000-10.000 bahkan ada yang 6.000
karakter) dibandingkan dengan media luar negeri seperti The New Yorker. Ia
berharap media Indonesia bisa seperti media luar negeri. Triyanto memberi
horizon betapa pers Indonesia sangat dibatasi. Jadi sebelum mengirimkan karya
harus memahami media itu.
Acara
bincang sastra di Workshop Menulis Remaja selesai pukul 16.00. Yudhi Herwibowo
mengumumkan puncak acara bersama Triyanto Triwikromo yaitu bincang kumpulan
cerpen Celeng Satu Celeng Semua
kepada para peserta dimulai pukul 19.30 di tempat yang sama.
Bandung
Mawardi selaku moderator memberi pengantar apresiasi kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua yang berisi 10
cerpen Pilihan Kompas 2003-2013. Banyak pengarang dari berbagai komunitas
sastra hadir dan juga sebagian masyarakat umum malam itu.
Beberapa
tanggapan atau apresiasi kumpulan cerpen itu antara lain Gunawan Tri Atmojo
yang mengemukakan karya-karya Triyanto Triwikromo saat ia memulai membaca mengalami kesulitan
untuk masuk ke dalam cerita. Namun, ia menikmati bahasa yang digunakan sang
cerpenis. Bahkan Gunawan seolah mengalami orgasme membaca karya-karya Triyanto
yang menenggelamkan banyak perasaan.
Han
Gagas memiliki pandangan yang sufistik dan realisme magis untuk karya-karya
Triyanto. Yudhi Herwibowo mengapresiasi
bahwa cerita-cerita yang dibangun Triyanto dari awal sampai sekarang kepengarangannya
bisa stabil kualitasnya.
Usai
para apresiator memberikan tanggapan, giliran Triyanto mengemukakan banyak
gagasan serta pengalamannya dalam bersastra. Menurutnya pengarang yang baik
adalah bagaimana memanfaatkan bahan, melakukan riset, observasi dan mencari
apa-apa disekitarnya yang kemudian digarap menjadi cerita menarik. Sebenarnya
kita sudah dibekali bahan oleh alam dan mitos di sekitar kita untuk membuat
cerita.
Dipenghujung
acara ia menegaskan bahwa “Karya kita hari ini adalah karya yang baru yang
harus kita tebus pada karya-karya berikutnya”
***
Ngadiyo, bergiat di Pawon dan Bilik Literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar